Navbar Bawah

Search This Blog

Sunday, 26 October 2014

Cerpen

Maafkan abang
Karya: Raihan zaki
Aku mempunyai seorang adik yang sangat lucu, ia sangat ceria. Hobinya adalah menggambar. dulu aku sering memarahinya, sampai saat kejadian ini terjadi.
Kukayuh sepeda dengan cepat. Sesekali kulirik jam tangan pemberian ayahku, jarum jam tak mau menunggu. Peluhku bercucuran disekitarnya. Sesampainya di pintu gerbang sekolah, aku memarkirkan sepeda ditempat parkir. Aku terlambat, semua murid sudah masuk ke kelas. Dengan terburu-buru ku berlari ke arah kelasku yang letaknya memang jauh dari tempat parkir.
“Assalamualaikum.” Kataku memberi salam
“Walaikumsalam.” Jawab ibu Yani dan kawan-kawanku serentak.
“Hei! Raihan kesini.” Panggil bu Yani.
Aku merasa takut, ibu Yani memang guru Mtk yang terkenal galak. Tetapi dengan segera kuhapus raut muka takutku, dan kuberanikan diriku untuk menuruti perintahnya.
“Mengapa kamu terlambat?” tanyanya.
Teman-temanku yang sedari tadi mencatat seketika menoleh ke arahku dengan rasa penasaran. Aku terdiam, aku belum pernah terlambat sebelumnya, mungkin karena itulah teman-temanku penasaran.
“Kenapa diam? Ayo jawab!” desaknya sekali lagi
“Anu....” belum selesai aku bicara, bu Yani yang dari tadi memandang tajam ke arahku menyela.
“Anu apa?”
“Saya terlambat karena mencari buku bu!” jawabku gugup, saking gugup nyakakiku gemetar saat menjawab.
“Mencari buku?  Apa kamu tidak membawa buku mtk?”  katanya seakan tak percaya
“Tidak bu.” Jawabku setengah ketakutan. Kakiku gemetaran lagi.
Yah, memang aku terlambat karena mencari buku Mtk dan Bahasa inggrisku yang hilang. Tetapi bu Yani tampak tak bisa menerima alasanku tadi.
“Okay, jika kamu tidak membawa buku, kamu tidak akan belajar selama jam pelajaran ibu!” kata ibu Yani, aku tak berani menatap mukanya.
“Kamu berdiri saja disini sampai jam pelajaran mtk selesai.” Sambungnya.
Aku berjalan ke depan kelas dan berdiri disana. Aku tidak berani menatap teman-temanku yang dari tadi menatap kearahku. Aku sangat merasa malu.
***
Setelah bel istirahat berbunyi, aku diserbu kawan-kawanku.
“Beneran nih han? Tumben terlambat, biasanya datang paling awal.” Tanya Fikri
Dan masih banyak lagi pertannyaan sejenis yang datang bertubi-tubi. Aku merasa seperti seorang koruptor yang dikerubungi wartawan. Aku hanya menjawab seadanya, sama seperti jawabanku dikelas. Akan tetapi, teman-temanku merasa tidak puas dengan jawaban yang aku beri.
Jam pelajaran berikutnya adalah bahasa inggris. Kali ini aku kembali di setrap di depan kelas karena tidak membawa buku bahasa inggris. “Mungkin memang ini yang harus diterima, toh aku Cuma membawa buku agama.” Batinku dalam hati. Untungnya aku membawa buku agama, jadi aku tidak di hukum lagi.
Ketika pulang sekolah, aku mengayuh sepeda dengan cepat. Sama saat aku pergi ke sekolah. Sesampainya dirumah aku tidak mengganti baju untuk bermain, tetapi aku mencari kedua bukuku yang hilang. Aku tak ingin kejadian tadi pagi terulang kembali. Disaat mencari, tiba-tiba adikku datang.
“Abang, coba lihat ini” serunya sambil menunjuk sebuah gambar .“Cantik kan?”
“Iya cantik” kataku sambil melihat gambarnya yang hanya sekadar coret-coretan belaka. Tetapi aku tertegun melihat sampul bukunya.
“Adek, itu buku abang?”
“Iya” katanya takut.
“Kenapa tidak minta izin dulu kalau mau pinjam?” bentakku. Ia hanya menangis. Lalu berlari ke dapur dengan muka yang ditutupi tangan.
“Maa abang jahat...” katanya tersedu-sedu. Ibuku hanya bisa membujuk dan menasehatinya.
“Adek kalau mau pinjam buku harus bilang dulu ke abang.” Ibuku memberi nasehat.
“Iya ma” katanya sambil mengusap air matanya, lalu ia pun mulai menggambar.
Malam harinya adikku sakit. Seluruh badannya panas. “seharusnya kamu jangan memarahi adikmu. Dia kan masih kecil, belum tahu yang mana baik dan yang mana salah.” Kata ibuku menceramahiku. Aku terdiam, aku merasa sangat bersalah.
***
Esok harinya aku mempunyai sebuah rencana untuk adikku. Hari ini aku bangun pagi-pagi buta. Kulihat kamar adikku. Ternyata adikku masih belum bangun. Kukayuh sepeda ke toko buku terdekat yang sudah buka. Aku membeli dua buah buku gambar, peralatan menggambar, pensil warna, dan kertas kado. Dengan bergegas aku pulang ke rumah. Aku berharap dapat sampai kerumah sebelum adikku bangun.
Sesampainnya di rumah, ternyata adikku masih belum bangun. Dengan hati-hati kubungkus pensil warna, buku gambar, dan peralatan menggambar lainnya dengan kertas kado. Saat sedang asyik membungkus, tiba-tiba adikku datang.
“Kado apa itu bang?” tanyanya sambil mengucek mata.
“Ini kado untuk adek” kataku sambil tersenyum.
“Yee adek dapat kado” katanya hendak membuka kado itu.
“Maafkan abang ya dek, abang udah marahin adek”
“Iya bang, adek juga minta maaf karena udah ngambil buku abang.”

Lalu kami pun bersalaman. Ibuku hanya tersenyum melihat kami. Adikku mengajakku menggambar bersama. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan memarahi adikku yang lucu itu lagi. 
g
o
l
B
y
M
o
T
e
m
o
c
l
l
e
W