Maafkan
abang
Karya: Raihan zaki
Aku
mempunyai seorang adik yang sangat lucu, ia sangat ceria. Hobinya adalah
menggambar. dulu aku sering memarahinya, sampai saat kejadian ini terjadi.
Kukayuh
sepeda dengan cepat. Sesekali kulirik jam tangan pemberian ayahku, jarum jam
tak mau menunggu. Peluhku bercucuran disekitarnya. Sesampainya di pintu gerbang
sekolah, aku memarkirkan sepeda ditempat parkir. Aku terlambat, semua murid
sudah masuk ke kelas. Dengan terburu-buru ku berlari ke arah kelasku yang
letaknya memang jauh dari tempat parkir.
“Assalamualaikum.”
Kataku memberi salam
“Walaikumsalam.”
Jawab ibu Yani dan kawan-kawanku serentak.
“Hei!
Raihan kesini.” Panggil bu Yani.
Aku
merasa takut, ibu Yani memang guru Mtk yang terkenal galak. Tetapi dengan
segera kuhapus raut muka takutku, dan kuberanikan diriku untuk menuruti
perintahnya.
“Mengapa
kamu terlambat?” tanyanya.
Teman-temanku
yang sedari tadi mencatat seketika menoleh ke arahku dengan rasa penasaran. Aku
terdiam, aku belum pernah terlambat sebelumnya, mungkin karena itulah
teman-temanku penasaran.
“Kenapa
diam? Ayo jawab!” desaknya sekali lagi
“Anu....”
belum selesai aku bicara, bu Yani yang dari tadi memandang tajam ke arahku
menyela.
“Anu
apa?”
“Saya
terlambat karena mencari buku bu!” jawabku gugup, saking gugup nyakakiku
gemetar saat menjawab.
“Mencari
buku? Apa kamu tidak membawa buku mtk?” katanya seakan tak percaya
“Tidak
bu.” Jawabku setengah ketakutan. Kakiku gemetaran lagi.
Yah,
memang aku terlambat karena mencari buku Mtk dan Bahasa inggrisku yang hilang. Tetapi
bu Yani tampak tak bisa menerima alasanku tadi.
“Okay,
jika kamu tidak membawa buku, kamu tidak akan belajar selama jam pelajaran ibu!”
kata ibu Yani, aku tak berani menatap mukanya.
“Kamu
berdiri saja disini sampai jam pelajaran mtk selesai.” Sambungnya.
Aku
berjalan ke depan kelas dan berdiri disana. Aku tidak berani menatap
teman-temanku yang dari tadi menatap kearahku. Aku sangat merasa malu.
***
Setelah
bel istirahat berbunyi, aku diserbu kawan-kawanku.
“Beneran
nih han? Tumben terlambat, biasanya datang paling awal.” Tanya Fikri
Dan
masih banyak lagi pertannyaan sejenis yang datang bertubi-tubi. Aku merasa
seperti seorang koruptor yang dikerubungi wartawan. Aku hanya menjawab seadanya,
sama seperti jawabanku dikelas. Akan tetapi, teman-temanku merasa tidak puas
dengan jawaban yang aku beri.
Jam
pelajaran berikutnya adalah bahasa inggris. Kali ini aku kembali di setrap di
depan kelas karena tidak membawa buku bahasa inggris. “Mungkin memang ini yang
harus diterima, toh aku Cuma membawa buku agama.” Batinku dalam hati. Untungnya
aku membawa buku agama, jadi aku tidak di hukum lagi.
Ketika
pulang sekolah, aku mengayuh sepeda dengan cepat. Sama saat aku pergi ke
sekolah. Sesampainya dirumah aku tidak mengganti baju untuk bermain, tetapi aku
mencari kedua bukuku yang hilang. Aku tak ingin kejadian tadi pagi terulang
kembali. Disaat mencari, tiba-tiba adikku datang.
“Abang,
coba lihat ini” serunya sambil menunjuk sebuah gambar .“Cantik kan?”
“Iya
cantik” kataku sambil melihat gambarnya yang hanya sekadar coret-coretan
belaka. Tetapi aku tertegun melihat sampul bukunya.
“Adek,
itu buku abang?”
“Iya”
katanya takut.
“Kenapa
tidak minta izin dulu kalau mau pinjam?” bentakku. Ia hanya menangis. Lalu berlari
ke dapur dengan muka yang ditutupi tangan.
“Maa
abang jahat...” katanya tersedu-sedu. Ibuku hanya bisa membujuk dan
menasehatinya.
“Adek
kalau mau pinjam buku harus bilang dulu ke abang.” Ibuku memberi nasehat.
“Iya
ma” katanya sambil mengusap air matanya, lalu ia pun mulai menggambar.
Malam
harinya adikku sakit. Seluruh badannya panas. “seharusnya kamu jangan memarahi
adikmu. Dia kan masih kecil, belum tahu yang mana baik dan yang mana salah.” Kata
ibuku menceramahiku. Aku terdiam, aku merasa sangat bersalah.
***
Esok
harinya aku mempunyai sebuah rencana untuk adikku. Hari ini aku bangun
pagi-pagi buta. Kulihat kamar adikku. Ternyata adikku masih belum bangun. Kukayuh
sepeda ke toko buku terdekat yang sudah buka. Aku membeli dua buah buku gambar,
peralatan menggambar, pensil warna, dan kertas kado. Dengan bergegas aku pulang
ke rumah. Aku berharap dapat sampai kerumah sebelum adikku bangun.
Sesampainnya
di rumah, ternyata adikku masih belum bangun. Dengan hati-hati kubungkus pensil
warna, buku gambar, dan peralatan menggambar lainnya dengan kertas kado. Saat sedang
asyik membungkus, tiba-tiba adikku datang.
“Kado
apa itu bang?” tanyanya sambil mengucek mata.
“Ini
kado untuk adek” kataku sambil tersenyum.
“Yee
adek dapat kado” katanya hendak membuka kado itu.
“Maafkan
abang ya dek, abang udah marahin adek”
“Iya
bang, adek juga minta maaf karena udah ngambil buku abang.”
Lalu
kami pun bersalaman. Ibuku hanya tersenyum melihat kami. Adikku mengajakku
menggambar bersama. Dalam hati aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan
memarahi adikku yang lucu itu lagi.